Zakat memang wajib di keluarakan bagi orang yang memiliki harta dan telah mencapai nisob (batas untuk pengeluaran zakat), disamping itu pula zakat adalah salah satu rukun islam yang ke 4. Dengan adanya zakat maka noda noda ketika mencari harta dapat di sucikan. Namun yang sering terjadi permasalahan ko sampai menyusahkan orang lain, dan tak jarang menyengsarakan. Lihat cara membaginya, zakatnya di bagikan ke orang yang mengantri dan yang ngantri begitu banyaknya.
Yang namanya mau di bagi uang, siapa si yang ga mau. Orang mampu aja kalau di kasih uang juga mau. Ini yang jadi pertanyaan, bukan kah yang namanya zakat sudah di tentukan siapa siapa yang berhak menerima? Bukan di bagikan kepada yang ngantri.
Nabi pernah berpesan, barang siapa yang meminta minta sedangkan ia berkecukupan, maka seolah ia memperbesar siksa untuk dirinya sendiri. Lalu sahabat bertanya, ‘siapa yang di maksud mampu (kaya) ya Rosul?’ Jawab beliau ‘Orang yang cukup makan tengah hari dan tengah malam’Jadi, sebuah renungan bagi orang yang mengantri, anda termasuk golongan yang mampu tidak? Atau anda memaksakan diri dalam golongan yang menerima zakat padahal telah jelas ancamannya. Coba kita ingat, siapa aja si sebenarnya yang berhak menerima zakat :
1. Fakir (orang yang punya harta, tapi tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhannya)Petanyaan sederhana, apakah yang mengantri termasuk dalam 8 golongan itu? Lalu apa buktinya? Yang namanya orang miskin dan orang yang cukup aja kalau dihadapkan sama saja, tidak kelihatan bedanya. Yang membedakan justru kehidupannya, disinilah peran orang sekitar, sesepuh atau ketua RT setempat.
2. Miskin (orang yang tidak punya harta, dan tidak bisa mencukupi kebutuhannya)
3. Amil (yang mengurusi zakat)
4. Muaalaf (yang baru masuk islam)
5. Hamba (budak
6. Berhutang (orang yang berhutang, tapi hartanya tidak bisa membayarkan hutangnya)
7. Sabililah (orang yang berjuang di jalan agama)
8. Musafir (orang yang dalam perjalanan sedang ia kehabisan bekal)
Kenapa zakat tersebut tidak di buat sistematis dengan membentuk panitia, yang nantinya akan menelusuri atau membagikan langsung ke RT-RT setempat. Lebih tepat sasaran, jauh dari riya (ingin di puji), lebih menghemat waktu dan tenaga, tidak menyengsarakan bahkan mencelakakan orang lain. Kecuali satu hal, si pemberi zakat ingin di kenal orang sehingga merasa tak afdol kalau bukan dia sendiri yang membagikan.
Coba kita lihat, kalau dia sendiri yang ingin membagikan zakat, apa akibatnya. Di pasuruhan jawa timur (September 2008), 21 orang tewas dan puluhan lain terluka. Tahun sebelumnya, di Jakarta tepatnya pasar minggu, 4 orang tewas dan 3 lainnya dilarikan ke rumah sakit. Dimadura (Agustus 2011), puluhan warga pingsan demi uang 30 ribu. Dan masih banyak lagi, sayangnya saya bukan reporter saya cuma blogger yang tidak memiliki catatan peristiwa di atas. Tapi ini yang menarik kita simak,baru baru ini juga di beritakan di televisi kejadian atas zakat yang memakan korban. Sampai kapan hal ini bisa menjadi pelajaran?
Bulan ramadhan memang buang yang baik untuk beribadah, namun tidak harus membagikan zakat di bulan ramadhan kan? Apalagi dengan mengundang orang orang untuk mengantri, semakin menunjukan inginya di hargai. Bukan kah nabi sendiri mengajarkan agar bersedekah dimana tangan kirinya tidak melihat apa yang di sedekahkan tangan kanannya. Artinya lebih baik bersedekah sembunyi sembunyi dari pada hanya ingin di puji.