Banyak orang hebat, yang amat berpengaruh pada bidangnya, dimasa kecilnya sudah jadi anak yatim atau yatim piatu. Nikolaus Agust Otto, warga jerman penemu mesin empat tak, masih bocah ketika ayahnya wafat. Isaac Newton, ilmuan jempolan asal inggris, lahir tahun 1642 ketika ayahnya sudah meninggal. Kong Hu Cu, filusuf besar cina, masih berusia muda sewaktu ditingal mati ayahnya. Johann Sebastian Bach, yang digelari musikus klassik terbesar dari yang terbesar, menjadi yatim piatu ketika umurnya baru 10 tahun.
Alkisah ada seseorang, teman dekatnya adalah pengusaha besar dan baru kehilangan uang dalam jumlah besar, Rp 65 milyar. Uang tersebut lenyap karena ia ditipu rekan bisnisnya dengan “cara yang tidak masuk akal.” Apakah pengusaha tersebut menyesal berkepanjangan dan maki maki tidak karuan? “tidak” jawab orang tersebut “dia hanya bilang ini adalah cobaan yang mungkin akan banyak manfaatnya” kenapa bisa begitu? Karena pengusaha tersebut termasuk orang yang sering berinfak. Sekian puluh juta bahkan ratusan juta rupiah dia infakan kepada yang membutuhkan. Mungkin jarang pengusaha besar, bahkan lebih besar lagi yang selalu member infak setiap bulan dalam jumlah yang besar.
Kebanyakan kita sering mengeluh ketika terkana musibah. Bahkan tidak Cuma itu. Kita bahkan sering menuduh bawa “Tuhan tidak adil. Kenapa musti saya yang kena bukan orang lain?” terkadang kerugian akibat musibah itu jauh lebih kecil dibanding nikmat yang kita terima. Tetapi anehnya kita sering melupakan segala kenikmatan tersebut. Yang sering kita terucap, bahkan selalu diingat-ingat, adalah musibah tadi. Kepada siapapun yang bertemu kita tidak segan segan untuk menceritakannya. Tujuannya? ingin dapat simpati? Ingin merasa menjadi orang paling sedih sejagad supaya orang lain merasa iba?
Ketika terjadi liberalisasi telekomunikasi, direksi PT Telkom mungkin menganggapnya sebagai musibah, apa sebab? Karena, sudah puluhan tahun lamanya PT Telkom memegang monopoli usaha telepon kabel. Kareana pegang monopoli, perusahaan ini tidak pernah memikir apa arti kepuasan pelangaan, misalnya. Monopoli ini sungguh merugikan, karena masyarakat tidak pernah mendapatkan pelayanana yang memuaskan. Namun, sesudah PT Telkom membentuk PT Tekomsel dan bersaing degan operator lainya dalam layanan telepon bergerak, pelangan merasa lebih puas. PT Telkomsel berkembang pesat dengan posisi di atas para kompetitornya. Bersama dengan berbagai anak perusahaanya, PT Telkom kini menjadi perusahaan sangat sehat dan tentu saja keuntungan nya pun jauh berlipat. Jauh lebih besar ketimbang ketika masih menjadi penguasa monopoli. Sepuluh tahun kemudian, jumlah itu membengkak besar menjadi 35,5 juta pelangan, jadi, penghapusan monopoli itu musibah atou berkah?
Hal serupa sering kita dengar, “untung dulu saya di pecat, kalu tidak mana bisa saya seperti sekarang ini?” kata Lukman Setiawan. Ketika dulu ia dipecat sebagai wartawan foto Koran terkenal, Lukman mungkin bersedih karena musibah itu membuatnya kehilangan penghasilan tetap. Sekarang tentu tidak, karena ia telah mengantungi keuntungan berliapat lipat. Dia pernah menduduki jabatan tertinggi disejumlah perusahaan media, punya saham lumayan di pelbagai grup media terkemuka. Pendapatannya tentu jauh lebih besr drai gaji yang dulu diterimanya tiap bulan. Ketika menjadi presiden direktur, dia sangat memerhatikan kesejahteraan karyawan. Lukaman kini tinggal bersama keluarga di rumah yang nyaman di kompleks mewah pondok indah, Jakarta. Pemecatan itu merupakan blessing in disguise.
Tidak dapat dipungkiri bahawa akhir-akhir ini berbagai bencana alam melanda negeri ini: banjir bandang, tsunami, gempa bumi, angin puting beliuang, kekeringan yang jauh lebih kering dan bekepanjangan. Ratusan ribu orang menjadi korban. Belum lagi seluruh korban bencana itu berhasil dibantu sebagaimanamestinya, bencana lainnya datanga menyusul dan mengakibatkan jatuhnya korban yang tidak sedikit. Yang terakhir gempabumi mengguncang bengkulu, 12 septeber 2007, sehari menjelang puasa ramadhan, berkekuatan 7,9 pada sekala richter. Besoknya giliran padang dan jambi digoyang gempa. Tidak kurang dari 5000 rumah rusak dan hancur. Kita mungkin perlu mengingat firman Tuhan “sekirannya penduduk negeri itu beriman, dan bertakwa, tentulah kami bukakan baginya rahmat dari langit dan bumi”
Yang lebih membuat besedih adalah ketiaka ketahuan bahwa orang orang atau pejabat yang mengurusi bantuan bencana alam ternyata mengorupsi dana yang seharusnya diberikan kepada orang orang yang amat memderita, yang sudah kehilanngaan segala galananya: keluargannya, rumahnya, harta bendanya, tetanga tetanganya sahabat sahabatnya masa dempanya , masjidnya puskesanya gedung sekolahnya pasarnya. Mereka yang berada di badan rekonstruksi aceh nias, misalnya terindikasi kuat melakukan korupsi. Padahal korban becana gampabumi dan tsunami tersebut luar biasa menderitannya. Pejabat yang mengurusi bantuan kroban gempa bumi Liwa, misalnya, terbukti korupsi dan harus mendekam dipenjara. Orang orang seperti ini tak termasuk penduduk negeri yang beriman dan bertakwa. Hukuman setimpal apa bagi mereka para raja tega tak bermoral itu? Penjara seumur hidup plus 700 kali hukuman cambuk sekeras kerasnya?
Seorang pernah bertannya kenapa nabi Muhammad saw “siapakah manusia yang menerima ujian paling berat? Rosul menjawab “para nabi, kemudian orang orang yang seperti mereka. Manusia di uji sesuai dengan tingkat kesetiannya kepada agamanya yang dipeluknya. Yang agamanya kuat akan mengalami ujian paling berat dan yang agamanya lemah akan mengalami ujian lebih ringan. Orang orang akan mengalami ujian, meskipun ia hidup di muka bumi tanpa dosa. “ kadang kita merasa terkena ujian paling berat. Apa kita nabi?
Carikost mania, cerita itu ketik dari Mati Tapi Hidup karya Nur Hidayat.